Lompat ke konten

Moluku Kie Raha: Prolog

Perjalanan dari Pelabuhan Dufa-dufa ke Jailolo

Sambil menanti dengan perasaan riang gembirang, saya memasang pandangan jauh jauh, mencari sebuah pulau tempat saya akan mendarat nanti. Pulau Ternate, tepatnya bandara sultan baabullah adalah pintu masuk untuk berkunjung ke daerah Maluku Utara. Perasaan senang itu seketika terusik dengan rasa tegang dan ‘takut mati’. Baru kali itu saya merasakan turbulance yang luar biasa. Saya sampai bilang dalam hati “sumpah gue kapok terbang, gimana ini pulangnya?”. Seketika setelah itu, kami turun di awan jahat tersebut dan mendapati pemandangan yang luar biasa syahdu. Langit yang belum begitu terang ditambah kepulan awan-awan pucat yang mengumpulkan mendung membuat kepulauan rempah di bawah sana terkesan mistis dan misterius. Rasanya kedatangan saya disambut seperti kedatangan penjajah saja, tak ada salam bersahabat. Namun syukurlah landing nya sangat lancar.
Total penerbangan dari Jakarta menuju Ternate kurang lebih memakan waktu 3.20 menit. Itu tanpa transit loh. Ini pertama kalinya saya naik pesawat komersil Indonesia selain AirAsia Indonesia. Hihi dan ini merupakan provinsi ke dua belas dan daerah terjauh untuk saat ini yang pernah saya datangi. Satu lagi, ini adalah bepergian pertama saya yang geratis, bahkan dikasih uang saku.
Tanpa ba-bi-bu saya sudah dijemput oleh rekan kerja yang memang orang asli sana. Kami langsung dibawa beserta 9 karung barang-barang untuk persiapan festival dua minggu ke depan. Tak lama, sekitar 10 menit saja kami sudah sampai di Pelabuhan Dufa-dufa. Sebuah pelabuhan yang menjadi pintu masuk ke kota Jailolo. Disini terdapat penyebrangan reguler dengan kapal kayu dan juga speed boat dari Ternate ke Jailolo (maupun sebaliknya). Jadwal penyebrangannya kapal kayu itu pukul 9 dan pukul 14, jam keberangkatan tersebut akan ngaret setengah jam pastinya. Hehe Ada juga penyebrangan speedboat, nah kalau yang ini sih menunggu penumpangnya penuh, normalnya sih penuh dengan 30 hingga 40 penumpang. Tarif untuk kapal kayu adalah Rp. 27.000 (waktu tempuh 1 jam) dan dengan speedboat Rp. 50.000 (waktu tempuh 30-40 menit)

Teluk Jailolo pagi itu, penuh kabut.

Perjalanan menuju Jailolo ditemani dengan rintik hujan dan langit yang kurang bersahabat bagi kamera saya. Semua terkesan dramatis dengan angin yang kadang bersiul dan mencolek permukaan kulit, dingin. Semuanya makin didramatisir dengan playlist saya, satu album Ben Howard (Every Kingdom). Walaupun bukan saat yang pas untuk memotret, saya cukup terhibur dengan cuacanya yang bisa dibilang segar. Sudah lama juga saya tidak mengarungi lautan dan nampaknya badan saya masih mengenali bau dan tingkah laku lautan yang sering kali mengoyak tubuh di atas kapal. Keakraban itu membuat saya kebal mabok laut. Akhirnya setelah satu jam berlayar, tiba lah sebuah pemandangan gunung dan bukit yang menghimpit laut. Tidak salah lagi, itu Teluk Jailolo. Setelah tujuh bulan bekerja dan menggarap Festival Teluk Jailolo, akhirnya saya sampai juga ke wujud asli dari semua foto yang saya lihat sebelumnya. Akhirnya..
Hiruk pikuk di Pelabuhan Jailolo tak dikalahkan oleh rintik hujan yang memang sedari tadi sibuk mengganggu.  Saya hanya diam menunggu bongkar buat gegembolan barang. Kami diantar oleh sebuah mobil bak menuju base-camp  proyek ini. Setalah dropping barang, saya dan rekan kerja, fuad, diantar ke sebuah homestay. Homestay ini terkenal dengan nama Homestay Ibu Fao. Pemiliknya bernama ibu Fauziah dan bapak Samsudin. Terletak di Desa Guemaadu, dan hanya berjarak sekitar 600 meter dari Pelabuhan Jailolo. Begitu masuk ke teras rumahnya yang terbuat dari kayu-kayu, saya langsung dapat merasakan kehangatan disini. Berasa pergi dari rumah dan tiba lagi di rumah yang lain. Satu hal yang meninggalkan impresi positif di homestay ini adalah halaman belakang rumahnya langsung laut yang di ujung garis horizon nya terpajang tiga gunung atau pulau. Apa saja? Pulau Hiri, Pulau Ternate, dan Pulau Tidore. Sebenarnya ada satu lagi yang tertinggal yaitu Pulau Maitara. Di homestay ini saya akan tinggal selama dua puluh hari ke depan. Tanpa ragu pasti akan betah tinggal disitu J

Halaman belakang rumah ibu fao

1 tanggapan pada “Moluku Kie Raha: Prolog”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.