Siemreap, 31 Agustus 2012. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Saya duduk di pinggir jalan di depan pintu masuk ke Preah Khan. Mengamati turis-turis yang akan masuk. Mengamati anak kecil yang berlarian mendekati para turis sambil menawarkan barang dagangannya. Sementara itu pemeriksa tiket masuk, seorang pemuda lokal Kamboja yang seumuran dengan saya mendekat dan mengajak ngobrol. Entah apa yang dia katakan. Pikiran saya tidak fokus, lemas, dan laper. Efek sepedaan pagi buta tanpa sarapan ditambah ngebut dan kena angin bikin kepala keliyengan dan rasanya mau masuk angin.
Pemeriksa tiket masuk itu menjelaskan setiap tempat yang ada di peta. Dia merekomendasikan tempat dan waktu terbaik mengunjunginya. Susunan kata yang dia jelaskan tidak jelas, saya jadi bingung mesti gimana. Gara-gara penjelasannya saya jadi bimbang untuk mengambil long track. Saya jadi kepikiran untuk balik ke Angkor Thom dan langsung saja ke Ta Phrom. Namun, selalu ada yang ngomong di pikiran “lo gak mungkin balik lagi ke sini kan?” “ngapain bayar 20 USD cuma buat ngeliat 3 objek?”. Dan kemudian tekad saya kembali bersemangat lagi. Kebetulan ada sekelombok bule yang bersepeda dan akan menuju ke objek selanjutnya. Saya mengikuti mereka dari belakang.
Cuaca saat itu panas terik, untungnya, sekeliling jalan ditumbuhi oleh pepohonan (eh namanya juga hutan). Menggunakan sepeda di sini harus siaga. Kalau sedang asik menggoes sepeda di tengah jalur yang kosong, harus ekstra hati-hati dengan kendaraan (bus/mobil van) yang suka seliweran dari dua arah. Pada umumnya di antara objek satu dengan lainnya berjarak sekitar 2km. Saya melewati Prasat Prei dan berhenti sebentar, mengambil foto, dan lanjut lagi menuju Neak Pean.
Neak Pean. Beberapa sejarahwan meyakini bahwa Neak Pean adalah sebuah representasi dari Anavatapta (yang dalam pandangan kosmologi Buddhis kuno sebagai danau yang melintang di tengah dunia yang air dari danau ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit, nama ini juga mewakili seekor naga yang berada di danau tersebut). Dibangun pada masa Jayawarman VII, Neak Pean ditujukan sebagai tempat pengobatan.
Di tengah udara yang panas dan terik mengerik kulit, sempat-sempatnya langit mendung dan bergemuruh. Saya jadi gak berlama-lama di Neak Pean. Langsung pergi lagi ke Ta Som. Menggoes sepeda sambil ngebut, kejar-kejaran dengan hujan. Kurang lebih 15 menit waktu tempuhnya dari Neak Pean. Hujan belum turun dan saya langsung masuk ke Ta Som.
Ta Som, sebuah komplek candi yang dibangun dan dipersembahkan untuk Dharanindrawarman, King of Khmer Empire (1150-1160). Beliau adalah ayah dari Raja Jayawarman VII. Sama seperti Preah Khan dan Ta Prohm, komplek candi ini juga belum begitu terurus. Semak belukar dan pepohonan tumbuh menyatu dengan badan candi. Juntaian dan lilitan akar-akar pohon membuatnya terkesan misterius dan eksotis. Melewati berlapis-lapis pintu masuk (Gapora), pengunjung akan merasakan keeksotisan setiap ukiran dan lekuk bentuk candi-candinya.
Rasa penasaran tentang ‘ada apa sih di ujung?’ membawa saya terus memasuki setiap gapura-gapura yang terlilit akar pohon itu. Hingga akhirnya rasa penasaran saya terjawab. Sampai di ujung pemandangan yang bisa dilihat adalah …. lapak dagangan orang. Ada yang jualan kain, jualan baju, jualan daster, jualan gantungan kunci, lukisan, perhiasan, dan macem-macem. Hadeeuh!
Ketika sedang asik memotret, tiba-tiba rintik hujan turun dan semakin membesar. Seluruh turis berlarian mencari tempat berteduh. Entah, rasanya hujan saat itu terkesan mistis. Langit terang, angin berhembus kencang meniupkan debu-debu berterbangan, dan pepohonan bergoyang tak santai. Pemandangan yang super absurd menjelang badai kecil di kawasan Angkor.
Akhirnya, saya berteduh di dalam candi di Ta Som. Hujannya makin deras hingga sekeliling hanya terlihat kabut-kabut putih.