Ketika riset mengenai jalan-jalan di Peru, hal pertama yang akan kamu temukan adalah tentang altitude sickness atau acute mountain sickness (AMS). Meskipun terdengar menyeramkan namun sebelum pergi ke Cusco, saya tidak terlalu memikirkan mengenai altitude sickness ini. Nah pertanyaannya adalah, apakah altitude sickness ini beneran terjadi? Apa yang saya alami dan bagaimana solusinya? Berikut ini saya mau cerita pengalaman saya dan altitude sickness.
Cusco sendiri berdiri di ketinggian 3399 mdpl, sekitar 300 meter menuju puncak Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa! Ketika pertama kali mendarat di Alejandro Velasco Astete International Airport (CUZ), saya tidak terlalu merasa pusing atau gejala-gejala AMS lainnya. Waktu itu hujan dan Cusco terasa cukup dingin jika kamu tidak memakai jaket. Luis, supir taksi yang menjemput saya di bandara memandu saya ke luar bandara untuk menuju mobilnya. Mungkin karena dia gak mau parkir di dalam bandara, alhasil kami mesti jalan cukup jauh untuk menuju mobilnya, waktu itu hujan semakin deras.
Entah kenapa, Cusco terasa seperti Dieng atau kota-kota dataran tinggi di Indonesia. Suasana kotanya cukup berantakan dan tidak memiliki trotoar/ruang untuk pejalan kaki. Tak lama kemudian, sekitar 15 menit, kami memasuki kawasan pusat sejarah di Cusco. Suasananya langsung berubah. Bangunan-bangunan terlihat lebih teratur, jalannya juga berubah jadi jalanan batu layaknya di Kota Tua Jakarta. Di kawasan pusat sejarah Cusco ini pun memiliki ruang untuk pejalan kaki yang nyaman.
Hanya membutuhkan 30 menit dari bandara Cusco, akhirnya saya sampai di Hostal Qolqampata. Lokasinya berada di salah satu bukit dan sangat dekat dengan Plaza de Armas di Cusco. Dari ruang makan hotel ini, kita bisa melihat katedral, Plaza de Armas, dan juga perbukitan sekitar. Pemandangan perbukitannya mengingatkan saya pada pemandangan bukit-bukit di kawasan Dago, Bandung. Begitu selesai check-in, saya ditawari (setengah dipaksa) untuk meminum teh herbal. Sebenarnya ini bukan daun teh melainkan daun coca dan juga mate. Kata ibu-ibu penjaga hotelnya, teh tersebut bisa mengatasi altitude sickness. Ya.. saya nurut saja meski saya belum merasakan efek-efek altitude sickness.
Berhubung hujan, saya mesti terkurung di dalam hotel, sekalian unpack tas. Begitu hujan cukup reda, saya tak sabar untuk keluar hotel. Hari pun semakin sore dan karena cuaca mendung jadi lebih cepat gelap. Hal tersebut tak mengurungkan niat saya untuk segera eksplor Cusco. Ternyata dari Hostal Qolqampata ke Plaza de Armas sangatlah dekat dan mudah. Ada jalanan kecil, mungkin hanya muat satu mobil, yang mengarah langsung ke Plaza de Armas. Selain eksplor Plaza de Armas, saya juga eksplor sisi selatan dari Plaza de Armas. Ada banyak toko, warung, travel agent, apotek, dan tentunya money changer. Waktu jam makan malam, akhirnya saya mampir ke Los Toldos Chicken.
Setelah eksplorasi sore itu tuntas, saya kembali ke hotel. Perut kenyang, langsung lah saya tertidur meski waktu itu sore-sore. Uniknya nih.. setelah bangun tidur, mungkin satu jam saja tidurnya, kepala terasa cekat-cekot. Perut agak mual-mual gimana gitu. Untungnya saya bawa tolak angin dan ibuprofin. Si ibuprofin ini obat mujarab banget buat menuntaskan rasa sakit kepala saya. Untungnya sih setelah satu jam gitu, kepala cukup ringan. Tapi malamnya sakit kepala datang lagi.
Fenomena sakit kepala dan perut mual ini berlangsung keesokan harinya lagi. Dalam hati “oh mungkin ini yang namanya altitude sickness ya?”. Akhirnya saya sering-sering aja minum air daun coca dan juga mate. Katanya sih coca ini mujarab untuk mengobati altitude sickness ya.. kalau teh mate memang saya suka menjumpainya di Amerika Serikat. Teh mate ini terkenal sebagai minuman penambah energi dan juga mengandung kafein layaknya kopi.
Kemudian gejala altitude sickness yang sangat terasa adalah nafas jadi pendek. Mungkin hal ini memang normal ya kalau kita jalan-jalan di kawasan dataran tinggi. Salah satu cara menyiasati hal ini adalah dengan tidak memaksakan. Kalau kamu memang merasa kuat jalan, misal biasanya mampu berjalan kaki sejauh 1 km hanya dengan waktu 15 menit, maka di Cusco sebaiknya kamu berjalan kaki lebih lambat dan mengatur fasenya. Jadi, alokasikan waktu yang banyak untuk mengeksplor Cusco. Misal, tidak terlalu ambisius untuk mengejar tempat-tempat wisata di Cusco ya!
Baca juga: Itinerary Backpacking ke Peru
Selain sakit kepala akut, perut mual, dan nafas jadi pendek, ada satu hal yang membuat saya kesal dengan altitude sickness ini, yaitu perut jadi kembung dan buang angin setiap menit.
Serius! Saya kesal banget dengan gejala yang satu ini! Jadi waktu di Aguas Calientes entah kenapa perut saya terasa mau meledak karena penuh dengan angin. Kadang mau buang angin susah tapi perut kembung banget. Akhirnya saya minta bantuan Firsta dan Nico untuk mencarikan saya obat di warung terdekat. Yap.. Aguas Calientes ini salah satu desa terpencil, terkenal karena memang desa ini adalah pintu masuk ke Machu Picchu. Jadi rasanya waktu itu cukup sulit mencari apotek. Ada sejenis apotek tapi kecil, lebih mirip seperti warung. Untungnya Nico bisa berbahasa Spanyol, jadi dia yang menjelaskan keluhan-keluhan saya tersebut. Akhirnya saya mendapatkan beberapa obat generik yang saya pun tak tahu namanya. Setelah minum obat tersebut beberapa kali, dalam dua hari, perut saya tidak berulah lagi.
Menurut yang saya baca, altitude sickness atau AMS memiliki gejala yang berbeda-beda di setiap orang. Begitu juga lama dari AMS yang di’derita’ setiap orang. Semua tergantuk fisik kita sendiri.
Beberapa hal ini yang saya rasakan saat mengalami altitude sickness:
- Pusing kepala
- Nafas pendek/mudah ngos-ngosan
- Perut mual
- Perut kembung
- Sering/susah buang angin (yup, entah kenapa bisa begitu)
Berikut ini solusi untuk mengatasi altitude sickness selama traveling di Peru:
- Atur nafas
- Jangan terlalu ambisius saat jalan-jalan
- Sediakan obat sakit kepala
- Bawa tolak angin yang banyak! Waktu itu saya hanya bawa dua 🙁
- Saat di kota besar, datang ke apotek dan minta obat kembung atau altitude sickness lainnya.
- Entah ada efeknya atau engga, tapi cobalah sering-sering minum teh coca dan mate.
Baca juga: Cara Memilih Hotel di Cusco
Selepas 5 hari saya traveling di Cusco dan Machu Picchu, badan saya terasa sudah bisa beradaptasi dengan altitude sickness ini. Meskipun begitu, saya tetap terus mengatur fase jalan saya dan tidak terlalu memaksakan diri. Beberapa kali setelah itu, saya tetap merasakan pusing yang teramat sangat ketika berada di kawasan yang lebih tinggi lagi, misalnya ketika saya di Taquile Island (4050 mdpl) dan saat perjalanan dari Puno ke Arequipa (jalan rayanya berada di ketinggian 4600 mdpl !!).