Masih dalam Kabur Sejenak ke Nagano. Setelah menelusuri Zenkoji yang cukup memukau, saya masih punya waktu kira-kira satu jam untuk menjelajah sekitar kota Nagano. Saat itu saya sedang iseng menelusuri Zenkoji hingga ke area belakang. Tibalah saya di suatu jalan utama yang mengarah ke atas bukit. Di antara jalan utama tersebut terdapat jajaran toko, rumah, dan sekolah. Di ujung jalan terlihat bukit yang dipadati dengan pepohonan yang menguning di musim gugur dan beberapa rumah serta kuil cantik di puncak bukit. Rasa penasaran saya menggiring saya untuk mengikuti jalan utama tersebut, menuju kuil di atas bukit.
Nagano memang termasuk kota besar. Selain itu, Nagano juga punya beberapa objek wisata yang cukup menarik turis-turis namun entah kenapa saat saya berkunjung, saya mendapati kota ini cukup sepi. Saya jadi sangat menikmati jalan kaki, melihat keadaan sekitar, menikmati atmosfir kotanya. Ditambah pemandangan musim gugur yang memberikan hawa tersendiri, saya jadi bahagia melihat pepohonan yang berubah warna mengisi ruang di tepian jalan hingga perbukitan yang memagari kota.
Rasannya saya telah berjalan cukup jauh namun kuil di atas bukit itu masih terlihat melambai-lambai di ujung sana. Perjalanan semakin terasa capek ketika jalanan mulai menanjak. Berhubung sudah terlatih hidup di Jakarta, akhirnya saya putar otak untuk cari jalan tembusan. Saya tidak melewati jalanan utama melainkan naik ke jalan setapak yang kemudian menggiring saya ke dalam halaman sebuah biara. Saya enggan untuk mampir dan kemudian hanya melewatinya saja. Saya kembali menaiki tangga setapak, menerabas pepohonan dengan sungai kecil di sebelah kiri. Suara air bergemericik disambut dengan suara syahdu lonceng yang diikuti oleh alunan do’a yang dipanjatkan oleh para biarawan.
Akhirnya saya tiba kembali di jalan raya. Hanya berjalan sedikit, saya telah tiba di pintu gerbang kuil tersebut. Uniknya, kedatangan saya disambut oleh pemakaman khas Jepang, atau biasa disebut oku-no-in. Suasananya begitu damai sekaligus mistis. Tanah berundak diikuti dengan barisan nisan-nisan beragam bentuk. Saya pun disambut dengan sebuah stupa putih besar, layaknya berada di Mandalay, Burma.
Saya terus berjalan mengikuti jalan seukuran mobil yang tak beraspal. Begitu rindang jalan tersebut. Bayangan bintang-bintang dari dedaun pohon maple menemani jejak langkah saya. Semakin masuk, semakin damai dan mistis tempat ini. Di tengah jalan, saya menjumpai sebuah mobil, ternyata di tengah hamparan barisan nisan tersebut, ada keluarga yang berziarah. Saya terus berjalan, menuju bangunan utama.
Usut punya usut, nama kompleks kuil ini adalah Zenkoji Unjōden. Kata Unjōden sendiri berarti Hall of Heaven. Kenapa dinamakan seperti itu? Jadi sambutan di awal berupa kuburan merupakan pertanda bahwa kuil ini ditujukan sebagai tempat suci untuk penghormatan terakhir bagi yang akan dimakamkan di sini. Kalau tidak salah, dulu kuil ini hanya digunakan untuk keluarga raja atau keturunan bangsawan di kota Nagano. Sebelum mereka dimakamkan, mereka akan didoakan dan (mungkin) dikremasi di sini.
Sebelum tiba di Honden atau aula utama, saya harus mengintip dulu dan mencari jalan masuk. Seperti kuil ini sedang direnovasi karena saya tidak menemukan satu pun orang di sini. Ketika saya mencoba menyelusup masuk lewat pintu samping, saya berpapasan dengan satu keluarga, yang mungkin habis berdoa atau juga penasaran seperti saya. Tempat ini terlihat tidak terurus. Banyak genangan air di jalanan masuknya. Beberapa material bangunan juga berserakan.
Setelah jalan masuk beberapa langkah, tibalah saya di halaman utama yang langsung menghadap Honden. Saya ingat betul, saya pernah melihat bangunan seperti ini sebelumnya. Dalam trip saya di bulan September, saya sempat ke Koyasan. Di sana saya juga berkunjung ke Danjo Garan. Bangunan utamanya mirip betul dengan yang ada di Zenkoji Unjōden ini namun yang di Koyasan lebih besar.
Rasa penasaran saya cukup sampai di halaman depannya saja. Saya pun tak punya keberanian untuk masuk ke dalam kuil. Kalau boleh bilang, saya selalu ngeri sampai merinding kalau berkunjung ke kuil sendirian dan sepi. Alhasil saya kembali lagi ke luar. Saya mencari jalan pintas untuk kembali ke jalanan utama. Menerobos jalan setapak yang dikelilingi nisan-nisan yang sudah berumur.
Setelah menyusup masuk ke Zenkoji Unjōden, saya kembali ke Zenkoji. Setelah itu menuju stasiun Nagano untuk menuju ke kota selanjutnya. Nah, di perjalanan selanjutnya saya akan mendapatkan sebuah kejutan. Seperti apa? Tunggu di postingan berikutnya!
Pingback: Matsumoto Si Kota Kastil | TRIP TO TRIP
Gileee…gile…serasa kota milik sendiri ini mah, eh, jalanan milik sendiri ini mah, enaknya jalan-jalan kalo sepi. Iri gw! Aduh jadi gak sabar Autumn…
Bayangin kalo Kyoto sepi, nah Nagano mirip-mirip gitu hehehe Jadi masukin Nagano ke itinerary autumn? :p
Noted. 😀