Chichibu, sebuah kota di Saitama memiliki cara tersendiri bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alamnya. Perjalanan menembus waktu bersama Paleo Express. Sebuah kereta uap yang sudah beroperasi dalam rute wisata Kumagaya – Mitsumineguchi sejak tahun 1988.
Satu pengalaman yang berkesan banget sewaktu di Chichibu adalah menaiki kereta uap klasik. Pertama kali saya melihat poster berwisata dengan kereta uap ini ketika saya mampir ke Stasiun Chichibu. Sayangnya, waktu itu saya telah telat 5 menit dari waktu keberangkatan, alhasil saya harus mencoba keesokan harinya.
Singkat cerita, hari itu adalah hari terakhir saya di Chichibu. Setelah check out dari ryokan jam 9, saya bergegas menuju pemberhentian bus yang hanya selemparan batu dari penginapan saya itu. 10 – 15 menit menunggu tak kunjung datang, hingga akhirnya saya memutuskan untuk berjalan kaki. Siapa tau akan papasan di jalan nanti. Sekiranya berjalan 1 km, tak ada juga bus, akhirnya saya gemes dan memutuskan untuk terus jalan kaki ke stasiun terdekat yang mana jaraknya 3 km dari tempat saya menunggu bus tersebut.
Jalanan di Chichibu sangat sepi, kerap kali saya loncat-loncat di tengah jalan sambil bernyanyi keras-keras. Perjalanan kali itu ditemani oleh lagu-lagu di handphone dan juga pemandangan alam Chichibu yang super keren. Lumayan juga berjalan 3 km tak terlalu terasa karena memang udaranya segar, walau pundak cukup pegel menggendong ransel. Sekiranya 45 menit kemudian saya tiba di stasiun Onohara. Nah, dari stasiun ini hanya sekali naik kereta lagi menuju stasiun Chichibu. Kalau biasanya di Tokyo kereta datang 3 menit sekali, di Chichibu ini kereta bisa datang 15-30 menit sekali.
Saya tiba satu jam sebelum pemberangkatan kereta uap, yaitu pukul 12.20. Harga tiket untuk sekali jalan menuju stasiun akhir, Mitsumineguchi, adalah 700 yen. Harga ini telah didiskon dari harga aslinya 1000 yen. Perjalanan menuju Mitsumineguchi akan melewati 6 stasiun yang mana akan memakan waktu kurang dari satu jam. Kereta uap ini bertajuk Paleo Express. Nama Paleo Express ini sendiri datang dari sebuah penemuan tentang dinosaurus laut yang berasal dari wilayah Chichibu ini pada 20 juta tahun yang lalu. Pada tahun 1944, kereta ini digunakan sebagai moda transportasi di daerah Tohoku, kemudian setelah berhenti beroperasi, kereta uap ini hadir menjadi kereta wisata di Chichibu. Sejak tahun 1988, Paleo Express telah melayani rute wisata sepanjang 56 km dari Kumagaya menuju Mitsumineguchi. Setiap harinya, terdapat dua kali pemberangkatan, jika kamu ingin naik dari Chichibu, maka jadwalnya adalah jam 12.20 siang menuju Mitsumineguchi dan 15.10 menuju Kumagaya.
Tentu saya sangat bersemangat untuk memulai perjalanan ini. Tak hanya saya, puluhan penumpang lainnya pun turut antusias menunggu kedatangan Paleo Express. Ketika dari kejauhan terlihat kepulan asap dengan suara peluit yang nyaring, para calon penumpang bersorak dan bersiap memasang ancang-ancang untuk memotret. Sementara itu, anak-anak kecil berlarian ke ujung peron untuk menjadi yang paling pertama menyambut kereta klasik ini. Saya tak mau kalah, saya pun mencari posisi terbaik untuk bisa memotret kedatangan Paleo Express.
Ketika kereta berhenti, calon penumpang mempersilahkan penumpang lain untuk turun di stasiun Chichibu. Kemudian, baru lah kami masuk dan berburu tempat duduk mana yang paling pas untuk menikmati perjalanan. Untungnya, sabtu itu tidak terlalu ramai sehingga saya bebas memilih tempat duduk sesuka hati. Walaupun sebenarnya agak bimbang, mau duduk di sebelah kiri atau kanan karena masing-masing sisi memberikan pemandangan Chihcibu yang spektakuler. Akhirnya saya blok kursi di kiri dengan ransel dan tote bag, sementara saya duduk di sisi kanan (maaf ya maruk :p)
Ketika kereta mulai jalan, para penumpang yang telah turun di stasiun Chichibu bersorak dan melambaikan tangan ke lokomotif klasik ini. Begitu juga orang-orang yang sedang menunggu di jalan persimpangan kereta api. Semakin menjauh dari stasiun, semakin banyak yang melambaikan tangan ke Paleo Express ini. Waah.. berasa jadi artis rasanya naik lokomotif tua ini, setiap meter ada yang menyapa dan melambaikan tangan.
Keseruan tak sampai di situ, pemandangan yang ditawarkan oleh Chichibu dari balik jendela Paleo Express semakin spektakuler! Kanan – kiri, depan – belakang, semuanya dipagari oleh gunung. Tak ketinggalan bukit-bukit cantik yang telah berwarna-warni khas musim gugur. Tak jarang dijumpai para fotografer ulung dengan kamera dan lensanya berdiri gagah di tepian jalan. Mereka menunggu momen langka untuk bisa mendapatkan pose-pose seksi dari lokomotif uap klasik ini.
Perasaan saya benar-benar senang, bisa menengok ke luar jendela, diterpa hawa sejuk dan ditambah pemandangan yang menyegarkan mata. Sekarang saya bisa bilang “Siapa yang butuh Tokyo dan kota-kota besar? di sini saya hidup bahagia”. Kereta terus melaju, tak kencang juga pelan. Kami membelah hutan, perdesaan, padang ilalang, dan melewati stasiun-stasiun tua khas pinggiran kota. Kerap kali cerobong asap mengepul lebih banyak dari biasanya dan suara “tuuuuuuuuut” panjang menggema. Sebuah sensasi yang jarang ditemui. Paleo Express benar-benar sebuah pengalaman menembus masa di tengah kecantikan alam Chichibu.
Saya jadi berpikir, kecantikan alam di Indonesia juga tak kalah keren, namun kalau dinikmati dengan cara yang berbeda seperti menaiki lokomotif uap pasti akan memberikan sensasi yang berbeda. Pernah dengar juga, katanya ada kereta uap untuk wisata di daerah Ambarawa. Apakah selain itu ada kereta wisata semacam ini? atau kah ada rute-rute kereta di pulau Jawa atau Sumatera yang menyajikan pemandangan spektakuler?
untuk melihat foto galeri dari Paleo Express ini bisa mengakses JapanTravel.
Pemandangannya ajib banget Feb….
Dirimu meracuniku >.<
ajib tenan.. mang enak :p
Review kuliner belum ada ya Feb? *nagih* 😀
belom nih.. sabar ya.
Pingback: 3 Jam Menuju Isesaki, Gunma | TRIP TO TRIP
kereta antik yah….terawat banget
sebenernya dalemnya sih biasa aja, gak terkesan wah, mungkin karena keantikannya dipertahanin kali ya hehe
ya..satu yg mba pengen banget itu naik Orient Express…belum sempat naik, sekarang udah tiada heuu..
selain di kampung halaman saya (ambarawa) ada lagi di sawahlunto mas ….
whoa baiklah.. semoga ada kesempatan untuk coba 😀
😉