Penang, 6 September 2012. jam 10.30 malam saya baru tiba di terminal bus Sungai Nibong. RapidPenang masih berkeliaran dan sayangnya sudah tidak beroperasi. Akhirnya saya menyusuri jalan-jalan sepi di sekitar terminal. Ada sebuah warung makan yang masih ramai namun tidak ada yang menjual kartu perdana. Saya harus menghubungi teman saya, yang nantinya akan menghost saya selama di Penang. Akhirnya saya bertemu dengan mbak-mbak berwajah tionghoa bekerja sebagai kasir di warung malam tersebut. Dengan baik hatinya dia mau memberikan satu sms ke teman saya. Akhirnya teman saya tersebut menelpon dan memberikan arah petunjuk jalan.
Kehabisan akal, akhirnya saya naik taksi. Di sini taksi tidak berargo. Ya pintar-pintar saja menawar. Ada seorang pakcik yang menawarkan hharga 25 ringgit untuk sampai ke Teluk Kumbar, letaknya hampir di balik pulau. Hmm coba itung sebentar 25ringgit x 3000 itu sekitar 75ribu rupiah. hufffftt mahal banget yaa.. Tapi mau tidak mau ya saya akan naiki. Sudah hampir jam setengah 12 malam juga, saya tidak enak dengan teman saya itu kalau kemalaman. Apalagi dia sudah berkeluarga.
Di tengah jalan saya bengong. Sedikit menyesal. Mencoba mengkalkulasi segala kebodohan yang saya miliki. Hmm coba saya ambil van ekspres dari Hatyai ke Penang; berangkat jam 12 siang dan paling sore sampai di Penang jam 5 sore. Harga tiketnya hanya 90.000 rupiah. Yah walaupun waktu itu uang kurang 20bath harusnya saya memiliki akal untuk bertransaksi dengan ringgit. Coba deh kalkulasikan ongkos yang harus saya bayar sejauh ini dari hatyai; van ke padang besar (25ribu rupiah) + ojek lintas negara (15ribu rupiah) + penalty pengembalian tiket kereta (15ribu rupiah) + tiket bus padangbesar ke penang (54.000 rupiah) + taksi ke tempat teman (75.000), jadi semua biaya yang saya keluarkan adalah 183 ribu rupiah!!
Di luar dari biaya itu, saya mendapatkan pengalaman baru dan mendapatkan tempat baru dalam memori perjalanan saya. Sebuah pelajaran gimana saya dapat memikirkan jalan keluar jika terjebak diposisi seperti sebelumnya. Masih beruntung saya nyasar di Malaysia, sebuah negara yang berbahasa Melayu.
Tak sampai setengah jam, akhirnya saya sampai di warung nasi misai. Di sana tempat janjian saya dengan host. Saya harus mengeluarkan jurus anti malu untuk meminta sms. Saya melipir ke warung Tomyam di pinggir jalan dan meminta tolong kepada mas-mas yang sedang berkumpul. “misi kak, boleh saya minta sms? untuk mengabarkan teman.” — “ya ini pakai saja, telpon saja telpon”. Baik banget sampai saya disuruh nelpon bahkan walau mereka mengenali saya sebagai orang Indonesia. Jadi kalau masih ada yang sinis terhadap negara tetangga kiita ini, coba kalian traveling deh.
Yusuf, adalah seorang teman yang saya kenal dari sebuah situs forum traveler. September 2011, saya pernah merequest ke dia untuk dihost bersama ke lima teman saya. Namun, semuanya batal karena akhirnya saya cuma jalan berdua dan kebetulan tidak jadi menginap waktu berkunjung ke Penang. Sekitar bulan November, saya bertemu dengan Yusuf lagi di Jakarta. Tau gak ketemu nya dimana? di terminal bus Kampung Rambutan!!
Seorang pria kebapakan yang berasal dari Hungaria. Dia adalah mualaf yang sekarang sangat enjoy untuk mempelajari tentang islam. Entah saya tidak tahu pekerjaan pastinya, namun yang saya tahu dia seorang akademisi di salah satu universitas negeri di Penang. Lucunya, sedari saya pertama kali mengenal dia, dia sudah bisa berbahasa Melayu. ya tidak selancar yang dibayangkan namun cukup lancar untuk seorang yang belum terlalu lama tinggal di Malaysia. Dia memiliki seorang istri yang juga dari Hungaria. Sudah memiliki empat orang anak laki-laki. Uuhhh lucu-lucu banget! Mereka adalah Abdullah, Haszan, Mustafa, dan Ali. Mukanya hampir mirip semua, jarak umur di antara mereka juga tidak jauh beda. Jadi saya susah menghapal yang mana Abdullah dan yang mana Haszan. Mereka juga asik banget diajak main, malahan tidak merasa awkward bertemu saya yang baru pertama kali menginap di rumah mereka.
Tak lama setelah menelpon, dia menjemput saya dengan motornya. Tak banyak yang berubah dari tampangnya setelah bertemu kira-kira setahun yang lalu. Satu yang berubah, Yusuf makin jago berbahasa melayu. Bahkan saya mengobrol dengan dia pakai bahasa Melayu. Jarak ke apartemennya memang agak jauh dari jalan raya. Setelah sampai, akhirnya saya bertemu dan berkenalan dengan istrinya, Erika namanya.
Benar-benar tidak enak rasanya tiba di rumah orang yang belum terlalu kenal malam buta begini. Tapi saya tidak punya pilihan. Saya langsung dijamu dan diajak ngobrol sebentar. Setelahnya, mereka memberikan saya sebuah kamar dan selimut untuk tidur. bffff belum benar-benar balik ke rumah tapi sudah berasa berada di rumah. Berada di lingkungan keluarga begini sangat lah rileks.
Semua perjalanan menuju Penang dan pertemuan dengan keluarga baru ini nampaknya cukup mencuci kegalauan saya tentang Bangkok. Uhmm.. saya jadi menyesal tidak datang lebih cepat ke kota ini. Berbeda dengan pengalaman host sebelumnya dengan seseorang yang single. Kalau dihost oleh keluarga Yusuf ini, saya merasa seperti main ke rumah saudara jauh aja. Kita ngobrol bareng di meja makan. Bermain dengan ‘keponakan’. dan segala aktivitas yang terasa beda dengan traveling yang ada di benak saya sebelumnya. So much love around me there 🙂 and always want to get back.
ufff baca ini jadi mau tau ttg kegalauan lo di Bangkok. Lanjut ahh blog walkingnya. hihihi
Thank you sudah baca-baca … Ngomong2 jadi malu ini post emo bgt
mak, gue terharu loh sama endingnya ini :’)
iya kaan emang.. sampe sekarang masih kerasa kehangatan keluarga baru itu.. :’)