What a tough night I spent in Khaosan. It was not about dying for parties, but it was dying to sleep. Boom boom duar waaww twaaarr rwaarrr had turned into inception inside the dream. *eh jadi keterusan pake bahasa Inggris 😛*
Akhirnya di pagi yang damai nan tentram saya terbangun. Sadar kalau di luar masih menyisakan gelapnya. Sekitar jam 5.30 kurang saya mulai packing barang-barang karena siang nanti akan bertolak ke Hat Yai. Namun, rasanya, masih belum cukup juga kota ini untuk dijelajahi. Masih banyak menyisakan tempat-tempat yang belum saya datangi. Ingin sekali rasanya memblusuk masuk ke setiap lekuk, lipatan, hingga lapisan terdalam kota ini :’)
Saya bertekad untuk menghindari tempat tidur dan berjalan keluar hostel. Saya mau berpamitan sebentar dengan kota ini. Lalu.. ketika saya keluar hostel dan menjumpai Khaosan Road yang semalam super ramai, saya menemui kawasan ini bagai sebuah desa habis perang. Baik sampah maupun orang-orang bergelimangan di jalanan. Yang mabok, yang masuk angin, semuanya terlihat sama. Baiklah.. saya harus mensucikan diri dulu.
Konon arti kata dari Wat Arun adalah Temple of a Dawn atau Kuil Fajar. Mari kita buktikan! Ya, walau sudah agak kesiangan, tapi langit pagi itu masih cukup gelap untuk dibilang kesiangan. Lampu-lampu jalan dan taman saja masih menyala. Burung-burung pun masih selinutan dengan sarangnya di pepohonan.
Saya berjalan menyusuri jalanan yang sangat sepi dan taman-taman yang masih ditiduri oleh para gembel. Di depan taman itu, terlihat stupa-stupa dari Wat Phra Kaew masih menyala. Saya terus mendekat dan merasakan keagungannya di tengah sepinya kota ini, sangat kontras dengan pemandangan yang biasa saya lihat di siang dan sore hari.
Menjauh dari Wat Phra Kaew, saya masuk ke dalam pasar dan akhirnya berjumpa kembali dengan Chao Praya. Di sana kapal besi untuk menyebrang ke Wat Arun sudah menunggu saya, terus memanggil, dan akhirnya saya naik juga menuju Wat Arun.
Tak sampai 5 menit, kini saya sudah berada di depan ‘Kuil Senja’. Sambil mengabadikan tiap momentnya, saya juga menikmati kesunyian dan kesendirian ini. Makin mendramatisir dengan memejamkan mata dan menikmati desiran angin, decakan sungai Chao Phraya, dan kicauan burung yang sekelebat terbang di atas, serta jejak langkah para biksu yang berjalan menjauh dari kuilnya.
Kuning segar matahari mulai menyembul keluar di balik Wat Phra Kaew dan menyinari kuil megah Wat Arun. Tak hanya kemilau cahaya pagi, warna pakaian para biksu yang ikut menyebrang sungai pun turut direfleksikan di sungai Chao Phraya. Mereka, para biksu, bergerak dalam ketenangan, mengamati sekitar, dan siap berangkat untuk mencari pengabdian para hamba-hamba Buddha yang lain.
Selagi menunggu kapal penyebrangan, tak sengaja perahu reguler Chao Praya hinggap di dermaga Wat Arun. Tanpa ragu saya meloncat masuk dan siap mengikuti rute perjalanannya. Kali ini saya mengambil rute dari yang sebelumnya (berlawanan arah dengan Taksin).
Di dalam perahu, terdapat beberapa warga lokal dan dua orang expatriate yang akan bekerja. Duh! seru banget ya. Di sini, ibu kota Thailand, kalau mau ke kantor berangkatnya naik perahu, menyusuri sungai, ditemenin matahari pagi. Coba bayangkan kalau berangkat kerja di Jakarta? ditemenin panas mesin kendaraan sih iya sambil kena macet. hiks…
Perjalanan random ini kurang lebih berlangsung selama 20 menit. Akhirnya saya turun di sebuah dermaga yang saya pun tak tahu namanya. Kemudian, ketika keluar dermaga, saya langsung disambut oleh rumah penduduk yang mirip seperti komplek dan di ujung jalannya terdapat sekolahan. Saya berjalan bersama murid-murid SD hingga SMA. Potongan rambut mereka hampir sama semua. Rapih!
Kebetulan banget, selagi jalan santai, di pinggir jalan ada warung makan. Sebenernya ini kayak gerobakan gitu tapi menu makanannya kayak warteg. Duh! melihat masakannya dengan bumbu yang berwarna merah kuning gini jadi menggugah selera makan. Saya makan nasi dengan menu ikan goreng sambal balado, eh yah apalah namanya itu. Pokoknya rasanya nyaam.. bikin rindu rumah. Begitu selesai makan dan akan membayar, ternyata harganya hanya 30bath!! 9000 rupiah untuk masakan seenak itu. bahkan lebih murah dibanding Padthai yang tiap hari saya makan. hikss
Setelah santap sarapan, saya melanjutkan perjalanan. Jalan kaki hingga bertemu jalan raya. Sambil mengumpulkan memori tentang bus mana saja yang sering melewati daerah Khaosan, maka kemudian naik lah saya ke bus nomor 30. Jalurnya lurus terus, hingga saya tiba di pasar Banglamphu, dari sana saya jalan menuju penginapan saya di Mama’s Guesthouse.
Setibanya di kamar, saya menjumpai seisi kamar sudah sepi. Teman perancis, cedric dan teman jepang, yosuke, nampaknya sudah pergi ke Kamboja, atau mungkin Laos. Hanya tersisa Jack yang masih tertidur di tempat tidur di atas saya.
Sebenarnya masih ada satu tempat yang ingin sekali saya datangi, yaitu sebuah istana berarsitektur Eropa di daerah Dusit. Kalau dilihat dari peta ya, kira-kira jaraknya masih memungkinkan untuk jalan kaki dari Khaosan. Hanya saja, saat itu sudah akan jam 10 pagi, kereta saya ke Hatyai jam 1 siang. Saya hanya punya waktu setengah jam saja sebelum berangkat ke Hualampong.
Hahhh.. akhirnya.. saya akan meninggalkan Bangkok. So many memories to left.
anjaaaaay, demi apipon itu ngana makan cuma 9riheng???
gileeee, vangkok mursidah yah ceuuuu masih bisa makan segituan
gue pengen ke bangkok ke IKEA-nya mak, katanya gede banget gitu dibanding SG
aamiin ah taun ini
Ish masa gak percayaan deh sama gue. Naek perahu keliling bangkok aja cuma 3000 rupiah. Iya itu makanannya enak deh, kayak ikan mas disambelin gitu. Nasi boleh nambah lagi.
Iya katanya IKEA nya gede, padahal ya wkt gue nebeng sama host gue di Bangkok, tmpt tinggalnya deket sama IKEA Cil..
ajak gue laah kl mau ke Bengkeuukk nanti gue bimbing
Oh my, tulisannya seperti karya penulis agung! Love your writing. Amazing!
Oh my Zara, what a comment! hahaha I am not that good. but thanks anyway. looking forward to get a writer career in Malaysia maybe then :p