Lompat ke konten

Bangkok, Khaosan, dan Dorm 100 Bath

Bangkok, 4 September 2012. Waktu berjalan dengan sangat lambat. Dapat dipastikan, waktu saya di Bangkok sudah kurang dari 24 jam lagi. Saya bingung mau kemana lagi di kota itu. Lagipula, hari itu nampaknya kota ini sedang mengalami bipolar disorder. Selepas dari Stasiun Hualampong, saya memutuskan untuk berjalan kaki dan melihat daerah sekitar. Sewaktu berjalan melewati jalan-jalan kecil yang dihimpit oleh bangunan-bangunan tua, saya melihat sebuah stupa keemasan muncul di ujung jalan. Saya terus mengikuti warna keemasannya dan tiba lah saya pada sebuah kuil, yaitu Wat Traimit. Saya sudah beberapa kali melewati kuil ini sewaktu menaiki bus secara random. Bahkan, Lonely Planet bilang kuil ini cukup spesial. Di antara banyaknya kuil-kuil yang bertebaran di Bangkok, kuil ini cukup spesial karena terdapat patung Buddha setinggi 3meter dengan berat 5,5 ton, yang berbahan emas solid.

Wat Traimit
Wat Traimit

Di seberangnya juga terdapat kuil yang bergaya lain, bukan semacam kuil Buddha di Thailand pada umumnya melainkan sebuah kuil pecinaan. Wah! baru engeh, saya baru saja masuk Chinatown nya Bangkok. Kalau berjalan terus akan ditemui kios kios mirip di glodok hanya saja lebih rapih.

Bangkok’s chinatown

Saya memutuskan untuk naik bus saja. Bus yang saya naiki adalah bus no.1. Tujuannya adalah Grand Palace/Wat Phra Kaew. Sesaat setelah bus berjalan, turun lah hujan. Orang-orang di jalanan berlarian berteduh di bawah kios-kios yang berjejer rapih di pinggir jalan. Warna-warni taksi berleriweran di tengah rintik hujan. Lampu-lampu yang bertuliskan huruf cina mulai menyala karena langit yang gelap. Hmm jadi berasa di Hong Kong.

Tuk Tuk and rain

Dormitory 100bath

Dormitory seharga 100 bath atau 30.000rupiah permalam ini bernama Mama’s Guesthouse. Secara tidak sengaja saya menemukannya  ketika tersasar di khaosan Road, pertama kali mendarat di Bangkok. Tak ada yang spesial di penginapan ini. Seorang bapak-bapak penjaga yang aneh, kayaknya bukan orang Thailand melainkan orang Jepang. Ada juga seorang ibu-ibu jutek berbadan besar yang sepertinya istri dari bapak Jepang penjaga penginapan.

Fasilitas yang diberikan adalah seranjang kamar yang berhimpitan dengan satu ranjang di atas dan dua lainnya di samping. Ruangan dorm nya paling hanya 3 x 4 meter. Terletak di lantai dua dengan suasana ruangan yang remang-remang. Di depan kamar terdapat sebuah rak buku yang dipadati dengan berbagai macam komik dengan bahasa dan huruf Jepang. Nah kan, dugaan saya benar kalau guesthouse ini dimiliki oleh orang Jepang.

Ketika pertama kali check in, hanya ada satu orang yang menempati kamar dormitory tersebut. Jack, adalah seorang warga Amerika yang berasal dari Texas. Cukup gila karena sudah tiga minggu tinggal di hostel bronxs ini. Hal yang saya suka dari Jack adalah dia selalu tertawa renyah walaupun topik pembicaraannya ya gitu deh..  Siang hari nya, masuk lagi satu, a French boy. Cedric baru mendarat kembali di Bangkok setelah petualangannya selama dua minggu di selatan Thailand. Dia datang ke sini dengan sebuah luka yang sudah menggunung akibat udara yang lembab (baca: borokan). Secara terpaksa menempati kamar dormitory ini karena sekeliling sudah penuh. Selain itu, dia juga hanya mampir sebentar di Bangkok karena ingin melanjutkan perjalanan ke.. yaa mungkin Kamboja atau juga Vietnam. Hal yang saya suka dari Cedric adalah pengucapan bahasa Inggrisnya yang tidak terlalu fluent dan menyisakan aksen Perancis di dalamnya. Setelahnya, kami kedatangan lagi seorang tamu Jepang. Yosuke adalah seorang pemuda seumuran saya (21 tahun) yang baru saja tiba dari Ayutthaya. Ternyata kemarin dia habis merayakan ulang tahunnya di Ayutthaya bersama para stranger/turis Jepang yang tidak dia kenal. Hal yang saya tidak suka dari dia adalah.. Bahasa Inggrisnya super kacau!! Perlu kesabaran 1000% untuk meladeni dia ngomong.

Selain kamar bronx dan kamar mandi luar yang ‘unwell’, guesthouse ini juga menyediakan wifi loh, cukup kencang malah. Sambil nunggu ujan dan males gerak, saya asik wifi-an di kamar saja mengisi siang menuju sore. Rasanya tidak bersemangat menjelajah Bangkok. Pikiran saya sudah tertuju pada destinasi selanjutnya. Selain itu, kegalauan akan kata ‘pulang’ juga terus nempel di kepala. Duh, gak mau pulang.. gak mau pulang…

Malamnya, Yosuke mengajak saya untuk makan malam bareng. Apalagi coba yang bisa dimakan selain Padthai? lengkap sudah empat hari saya makan Padthai sebagai makan malam! Kami banyak mengobrol tentang perjalanan yang telah dilakukan. Dia sangat senang bertemu saya karena saya orang paling mengerti mengenai keterbatasan bahasa Inggrisnya. Di sisi saya, malah merasa “duuh capek ya” tapi di luar itu, Yosuke memiliki cerita yang seru-seru. Ada juga cerita yang sangat bikin merasa kasian. Masa di perjalanan ini dia sudah tiga kali ganti kamera coba!!! Pertama kamera yang dia bawa ilang begitu pertama kali sampai di Thailand. Kemudian dia beli lagi kamera di Bangkok dan berakhir kecebur air. Alhasil, saat itu dia menunjukkan kamera digital ketiga nya yabg terlihat sangat sederhana. Cupcup.. kasian Yosuke..

night in Khaosan

Malam ini menjadi malam yang berbeda dari sebelumnya. Biasanya saya balik ke Bang Na, sebuah daerah pinggiran Bangkok yang relatif sepi. Kalau malam sebelum tidur yang saya dengar hanya desiran angin lewat dan suara lalu lintas yang kadang membisik lembut. Malam-malam penuh ketenangan dan menikmati lampu kota Bangkok dari kejauhan dan ketinggian. Hfff Khaosan? ini menjadi malam paling neraka di Bangkok. Tak sedetik pun daerah ini dimakan sepi. Musik jedag-jeduh mendengung di telinga dan suara orang ramai di luar selalu mengusik. This would be the first and last time I had a sleep near Khaosan.

Sementara saya mencoba tidur, alunan musik tak berhenti menggongong yang bersamaan dengan angin masuk lewat jendela yang sengaja terbuka. Besok akan menjadi hari terakhir saya di Bangkok. Mungkin, akan menjadi momen yang sangat sentimentil. Sementara itu, kereta siap menjemput saya pulang menuju pos-pos pemberhentian yang makin dekat dengan rumah.

5 tanggapan pada “Bangkok, Khaosan, dan Dorm 100 Bath”

  1. Pingback: Reuni dan Kebodohan di Nara | TRIP TO TRIP

  2. Meidiana Kusuma

    Febry, gue juga paling ogah kalo disuruh nginep ditempat ramai loh, pertama kali dapet hostel di SG ada didaerah Jalan Besar, dan malam itu udah sepi sebenernya tapi 2 lokasi dari hostel itu tempat karaoke =,=

    Eh tapi tempat ramai kadang ga terlalu ganggu juga, Hostel di daerah Boat quay meskipun rame tapi karena kamar gue dipojok tetep aja sunyi dan bisa tidur nyenyak :)) yang ga bisa bikin tidur malah gara2 roomate bulak balik keluar masuk kamar =,=

    1. Febry – 🌎

      Halo Meidi,
      Nah itu.. enaknya tempat rame ya gak spooky, bisa seliweran ampe tengah malem, nikmatin kotanya. Tapi kalau memang butuh istirahat sih sangat tidak direkomendasikan, ya? hehehe
      Pinter-pinter deh kl gt nyari tempat nginep.

  3. Halim Santoso – an Indonesia Travel Blogger, independent traveler share about the journey, adventure, travel photography, heritage, human interest, art, culture, and nature.

    Hehe…Khao sand memang jegag-jedugnya hampir sama kaya area Legian, Bali. Kudu pura-pura budeg agar terbiasa stay di sini 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.