Perjalanan terus berlanjut dan kami melewati Wat Ratchaburana karena kami merasa bentuk bangunannya tidak berbeda jauh dan hanya selemparan batu saja dari Wat Mahathat, apalagi harga tiket masuknya juga 50bath. Kemudian, tujuan kami selanjutnya adalah Wihan Phra Monkhon Bophit yang berdekatan dengan Wat Phra Sri Sanphet.
Wihan Phra Monkhon Bophit hanya berjarak beberapa utikan saja di sebelah barat Wat Phra Mahathat. Kami disambut dengan sebuah bangunan otentik ala Thailand. Ternyata masuknya gratis! Di sini terdapat patung Buddha yang terbuat dari perunggu dan menjadi salah satu patung terbesar yang ada di Thailand. Patungnya berada di dalam ruangan Wihan Phra Monkhon Bophit tersebut.
Sementara itu, yang hanya selemparan batu dari wihara ini, terdapat ancient palace atau Wat Phra Sri Sanphet. Tempat ini nampaknya amat terkenal dengan tiga buah stupa/chedi besarnya. Kebetulan ya, sewaktu mau masuk, terdapat rombongan orang berwajah oriental. Saya mengajak Akiko dan Mariko untuk masuk saja mengikuti rombongan tersebut. Kemudian, yeah! kami berhasil masuk tanpa bayar tiket. Iya, saya sadar ini tindakan kriminal banget apalagi ngajak turis Jepang yang mukanya inosen gitu. Eh, udah seneng-seneng bisa masuk gratis, tiba-tiba petugasnya nyolek-nyolek saya dari belakang;
“you mush buy a ticket, sir.”
“oh there is a ticket?” pasang muka inosen.
“yes, the ticket is there” sambil menunjuk loketnya.
Duh, dengan malunya saya mengajak teman Jepang saya untuk membeli tiket. Saya berusaha ngomong pake bahasa Thailand. “Khaw aphai. Thao rai? saam, saam.” dia malah jawab “one is fifty bath!” dengan muka lurus. aaah! gagal!
Wat Phra Sri Sanphet adalah kawasan kuil terbesar di Ayutthaya. Sebagai bekas Royal Palace, dulunya di sini terdapat bangunan kediaman raja dan Wat/wihara yang hanya dapat dikunjungi oleh keluarga kerajaan. Di Wat tersebut terdapat patung Buddha setinggi 15 yang dilapisi emas seberat 340kg, namun semuanya habis terbakar dan dimusnahkan oleh pasukan kerajaan Burma.
Setelah dari sana, saya berpisah dengan kedua teman Jepang karena mereka mau menaiki gajah keliling kompleks candi Ayutthaya tersebut. Kami sempat berfoto sebagai tanda perpisahan dan mereka bilang “terima kasih”.
Saya meneruskan perjalanan dan terus mengutik sepeda menuju arah barat. Kemudian sempat nyasar ke daerah pemukiman dan menemukan pasar kaget. Saya putar arah dan terdampar di 7-11. Baru sadar kalau saya belum makan siang. Saya makan mie instan dalam kemasan (semacam pop mie) bareng anak-anak SD yang baru pulang sekolah dan langsung mengerubuti 7-11.
Perjalanan dilanjutkan. Saya menyusuri kanal-kanal di sekitar Ayutthaya dan membawa saya ke Wat Worachettaram. Di sana terdapat patung Buddha tiduran. Selagi foto-foto, eh saya bertemu lagi dengan si Akiko dan Mariko. Kemudian berpamitan lagi dan lanjut goes sepeda ke sebuah reruntuhan yang tidak dipagari dan masuknya gratis.
Langit sudah mulai menguning dan ketika melihat jam sudah akan menunjukkan jam 4 sore. Kebetulan pemberangkatan kereta menuju Bangkok ada di jam 4.10, 4.30, dan 5.15. Semuanya adalah kereta keras murah (seperti ekonomi & rapid). Kalau tidak mau naik kereta mahal, saya harus buru-buru ke stasiun dan mengejar keberangkatan yang jam 4.
Secepat kilat, se-ngebut-ngebutnya, saya mengutik sepeda. Ini super seru! ngebut dan menerobos mobil-mobil yang memadati jalan di Ayutthaya menjadi tantangan tersendiri. Tangan kiri memegang peta, dan yang kanan tetap fokus pada stang sepeda. Saya sempat salah jalan karena harusnya lewat bawah dan saya malah naik ke jembatan. Dari jembatan tersebut saya dapat melihat sebuah kuil megah terdapat di luar pulau Ayutthaya. Duh! sudah tidak sempat kalau mau mampir kan!
Akhirnya dalam waktu 13 menit saya sampai di stasiun dan berhasil membeli tiket. Mau tau harga tiketnya? 20 bath saja saudara saudara! sempat sakit hati, kenapa rentang harga super ekspres dengan yang rapid bedanya jauh banget? kalau dirupiahkan, antara tiket 6000rp dengan 97.000rp apakah gak bikin sakit hati? hiks..
Seorang petugas tiket sempat mengajak ngobrol. Dia bertanya saya dari negara mana dan menanyakan mata uang yang digunakan. Ya sudah, saya kasih oleh-oleh aja dengan memberkan uang lembaran 2000rp. Itu saja sudah girang banget sampe-sampe dia menutup loketnya hanya untuk ngobrol dengan saya.
Saya memiliki waktu 10 menit untuk ngebalikin sepeda ke rental kemudian balik lagi ke sini. Setelahnya, saya menunggu di peron yang juga sudah dipenuhi oleh orang-orang yang juga akan menaiki kereta yang sama. Bukan hanya 10 menit, bahkan sudah 30 menit saya menunggu belum datang juga. Hingga akhirnya jam 5.15 kereta baru tiba! bukan main ya, sama juga nih kereta kayak di Indonesia, ngaret banget.
Untungnya keretanya kosong, jadi kita bebas memilih tempat duduk. Kalau penuh, bisa jadi saya tidak duduk sepanjang perjalanan karena memang tidak ada nomor tempat duduk di tiketnya. Perjalanan dengan kereta kelas rapid ini lebih lama, yaitu bisa mencapai 3 jam. Soalnya kereta ini berhenti di setiap stasiun. Alhasil, saya baru sampai Stasiun Hualampong jam 8.30.
Pingback: Hadiah dari Akiko & Mariko “Welcome To Japan” | TRIP TO TRIP
ayuthaya ini kalo gw bilang mirip2 jogja, andaikan candi2 di jogja bisa di kelola dengan baik dan di promosikan
Uhmm menurut saya lbh bagusan Jogja malah.
tp gak tau ya untuk candi2 lain di luar mendut,, prambanan dan sekitarnya
Setuju juga tp orang kita kadang kurang sadar akan kekayaan peninggalan sejarah yg harus nya terawat. Semacam di borobudur banyak coretan tangan iseng
haha nah itu tuh yg miris.. kurang menghargai aja kejayaan masa lalu..
Yaaa semoga dibukakan jalan #lhooooo hehehe