Lompat ke konten

Between Borders: Come and Go

Goodbye Siem reap

Setelah petualangan bersepeda di Angkor Archaeological Park seharian yang menyisakan banyak cerita, sekarang saat nya saya berpindah tempat. Sesampainya di pusat kota Siem Reap, saya langsung mencari tiket bus ke Bangkok untuk besok pagi. Beberapa tempat didatangi ternyata harganya sama, 10 USD, berangkat jam 8 pagi dan perjalanan memakan waktu 8 jam lebih.

Bangkok akan menjadi kota petualangan ‘terakhir’ di Trip 6 Countries. Setidaknya, hingga saya terbang balik ke Indonesia lewat Penang. Banyak yang bilang Bangkok sudah tidak seru lagi, sudah terlalu ramai, hingga scammer dimana-mana. Justru itu, saya penasaran. Seberapa pun kota ini sudah terlalu ramai akan wisatawan, seberapa pun objek wisatanya dibilang basi, seberapa pun tempatnya sudah terlalu touristy. Rasanya ada magnet yang sangat besar yang menarik saya untuk berlama-lama di kota ini.

Sabtu, 1 September 2012. Ketika bangun, di ranjang paling atas, saya sibuk memikirkan, hari ini mau ngapain ya? Rasanya otak beku karena temperatur AC kamar yang teramat dingin, dan mungkin pikiran masih ketinggalan di candi-candi Angkor. Begitu melihat jam, saya langsung kaget. Sudah jam 7 pagi dan saya akan dijemput ke stasiun bus sekitar setengah jam lagi. Saya langsung buru-buru mandi (7 menit). Melipat semua baju dan memasukkan semua barang yang berceceran di tempat tidur (8 menit), semuanya dilakukan di dalam ruangan yang gelap. Sebuah keahlian yang didapat selama traveling!

People come and go. Sayang banget saya tidak bisa berpamitan dengan Ester, si cewek Irlandia yang paling baik, meminta kontaknya pun belum. Dunia traveler tuh dipikir-pikir kejam juga ya. Kita tidak akan pernah dibiarkan nyaman terhadap suatu tempat atau pun seseorang. Semuanya bergerak dan berpindah. Instead, travel is the answer to get out from comfort zone. 

Singkat cerita, saya sudah di dalam bus menuju Bangkok. Jalan dari Siem Reap menuju Poipet (kota perbatasan dengan Aranyaprathet, Thailand) lebih bagus dibanding Phnom Penh – Siem Reap. Di sebelah saya duduk cowok Jepang. Sedari tadi kami tidak mengobrol, saya hanya menawarkan mister Potato ke padanya. Masuk siang hari, kami sudah sampai di perbatasan Kamboja – Thailand. Ternyata kami harus pindah bus dan melewati imigrasi dulu. Cuaca terik, jalan saja seperti terseok-seok. Imigrasi selalu membuat saya deg-deg-an.

Imigrasi Cambodia di Poipet

Loket keluar imigrasi Kamboja hanya seperti warung pinggir jalan. Keadaan sekitar juga ramai sekali seperti di pasar. Untung proses keluar dari Kamboja lancar-lancar saja. Selanjutnya, saya berjalan mengikuti rombongan bus ke imigrasi masuk Thailand. Antrean mulai mengekor. Baik turis dan warga lokal (TKW) semuanya tumpah ruah di imigrasi Aranyaprathet.

Waktu itu ada kejadian lucu yang juga miris. Ada seorang turis Jepang yang kesusahan menulis ‘Bangkok’ di formulir imigrasinya, sampai-sampai dia minta ditulisin oleh bule. ckck Ada lagi kejadian yang bikin saya kasian sama orang Jepang. Kemampuan berbahasa Inggris mereka sangat minim, tapi mereka berani banget jalan-jalan sendiri ke negara-negara kayak Kamboja. Sewaktu masuk ke antrean di imigrasi Thailand, turis-turis Jepang itu diomelin oleh petugas imigrasi. Entah karena salah isi formulir atau karena mereka tidak mengerti bahasa Inggris si pegawai imigrasi. Akhirnya mereka yang sudah mengantre duluan disuruh mundur lagi ke belakang. Mereka dijadikan satu antrean dan disuruh mengisi ulang formulirnya. Hii kasian… Saya sih lancar melenggang masuk Thailand.

Goodbye Cambodia

Seperti yang sudah saya baca di blog-blog orang, kita akan dioper lagi dengan bus yang berbeda setelah melewati border. Maklum saja, jalanan Thailand dengan Kamboja aja sudah beda, di Kamboja setir kiri, nah di Thailand setir kanan seperti di sini. Yang disayangkan, penumpang bus harus menunggu sangat lama untuk melanjutkan perjalannya. Waktu menunggu kira-kira setengah jam. Belum lagi istirahat makan di kedai sederhana setengah jam juga (mau tau tarif makanan di sana? semuanya di atas 4 USD, coca cola sebotol 1 USD, magnum 3 USD. ngeliat harga lapernya ilang).

Ternyata kami akan dioper ke dalam van, bukan bus. Jadi  penumpangnya harus bergiliran. Tak perlu menunggu setengah jam. Saya langsung mengantre untuk ikut van yang sudah siap. Nah, kebetulan saya duduk bareng lagi dengan si cowok Jepang. Kemudian dengan sedikit basa-basi, terciptalah obrolan yang sangat seru. Namnya adalah Masayuki, berasal dari Kyoto. Dia nanya umur saya, terus dia kaget karena masih muda tapi udah jalan-jalan jauh (dia gak tau aja bule-bule lebih gila lagi). Pas saya nanya balik umurnya, saya kok dengernya umurnya dia 25 ya, terus percaya aja gitu. Kemudian setelah obrolan panjang, baru lah saya engeh, umurnya 35! Bahkan, dia bilang 25 pun saya percaya. Perjalanan 3 jam menuju Bangkok sangat tidak terasa berkat ngobrol bareng Masa. Dari awal yang basa-basi, kini obrolan lebih hangat dan akrab. Jarang sekali bisa mengobrol sebegininya dengan orang yang baru pertama kali ketemu. Uhmm saya jadi ingin ke Jepang.

Masayuki menjelaskan tentang liburannya yang… menurut saya sedikit aneh. Dia hanya punya waktu liburan 4 hari. Jadi dia sampai Bangkok pada rabu malam, pagi nya dia langsung berangkat lewat jalur darat ke Siem Reap, jumatnya dia keliling Angkor, dan sabtu pagi tadi dia langsung balik lagi ke Bangkok. Ketika saya tanya “so, what did you do in Bangkok?”. dia menjawab “I do nothing. and I don’t know, I only have a night to explore the city”. Gokil ya?

Aranyaprathet menuju Bangkok memakan waktu lima jam kurang. Setelah sekian lama yang saya lihat hanya jalanan tol dengan sekeliling yang gersang, akhirnya mobil yang kami tumpangi sudah memasuki daerah perkotaan. Fly over dimana-mana. Gedung-gedung tinggi. Mirip seperti di Jakarta.

near Khaosan Road

Welcome to Bangkok! Kami diturunkan di kawasan backpacker yang terkenal se-Asia Tenggara, Khaosan Road. Keramaian para pelancong, pedagang, plang-plang kafe dan hotel sudah terlihat.

“So, what’s your plan now?” tanya Masa.

“I think, I am going to find money changer or ATM. then buy the sim card to call my friend. and you?”

“I am going to tourism information, to get the map, and find hotel.”

Akhirnya, saya menemani dia ke tourism information, sekalian nanya-nanya jalan menuju Bang Na (tempat host Couchsurfing), dan meminta peta. Setelah itu, Masa menemani saya ke ATM. Setelahnya, kami berpisah dan Masa meminta saya untuk terus keep in touch. Kembali seperti yang tadi saya sudah jelaskan. “People come and go, to travel is to let you not to be comfort with any place or anyone. So, keep moving on!”

Note: Setelah pertemuan saya dengan Masa, saya jadi mendapat pencerahan mengenai tujuan saya setelah trip ini. Jepang! Akhirnya, sebulan lalu, saya booking tiket ke Jepang dengan tujuan Osaka. Perginya masih lama dan semoga perjalanan ini akan berjalan lancar

10 tanggapan pada “Between Borders: Come and Go”

      1. promotiketpesawat2018

        ada kah pertanyaan spesifik saat cop di bordernya? rncna maret th dpn sy solo trip ke sana kak…mksih buat infonya sngat bermanfaaat buat pemula sprti sy..hehe

  1. Yuna – Banjarmasin.Samarinda.Sangatta.Bandung.Indonesia – Hi!!! I'm Yuna

    Ah, apa orang Jepang memang gitu yah? tak terbiasa memulai percakapan. most of them waktu di Jepang walau sebangku juga gitu, dipesawat duduk langsung tidur, gwpun menyapa duluan dengan gaya khas Indonesia kali ye, nawarin makanan dengan teman sebangku dan akhirnya gw mulai basa basi. Thailand..akan gw lewatin juga. 😀
    selalu ada cerita2 unik yah :D, membuat ingin explore lebih, untung tak ada kata terlambar untuk meng-explore 🙂

  2. Pingback: April: No’where’ atau Now’here’ | TRIP TO TRIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.