Penyebrangan reguler menuju Ternate berangkat jam 8.30, tapi karena takut ketinggalan dan hujan yang semakin deras, saya sampai di pelabuhan dan sudah duduk manis di kapal kayu jam 7.30. bongkar muat barang yang akan dikirim ke Ternate nampaknya cukup memakan waktu. Hujan pun terus turun dan tidak menyisakan sedikit pandangan ketiga gunung di depan pulau halmahera tersebut. Saya was-was. Ketika datang pertama kali ke Jailolo pun saya disambut dengan cuaca seperti ini. Serasa laut bersekongkol untuk membuat saya semakin jiper, maklum kan saya ga bisa berenang tapi sok-sok an nyebrang laut. Hehe
Sesuai jadwal, kapal sampai sejam setelah keberangkatan. Akhirnya saya bisa menapak lagi di Pulau Ternate, yang sebelumnya hanya numpang melintas saja dari bandara ke dufa-dufa. Kali ini, mungkin saya pun hanya akan numpang menapakkan kaki saja, karena tujuan utama saya adalah Pulau Tidore. Saya ga tau banyak mengenai what to do dan where to go di Pulau Ternate, apalagi Tidore. Saya hanya penasaran saja, seperti apa nampak dari kepulauan yang dulu menjadi rebutan para penjajah. Hihi
Dari pelabuhan dufa-dufa, saya lirik kanan kiri depan belakang, mencari sebuah angkutan atau apapun. Nyatanya di depan ada angkutan berwarna biru mangkal, tanpa tulisan tujuannya ataupun nomor jurusannya. Biar ga dikira turis, saya iseng naik aja dan duduk di samping supirnya. Baru jalan bentar si supir udah nanya saya mau kemana, ketauan banget ini kedok turisnya. Ya sudah saya ngaku deh saya mau ke Tidore, terus minta dianterin ke pelabuhan bastiong. Untungnya supir angkotnya bukan tipe penipu macam supir angkot di Lombok. Dia malah menjadi tour guide singkat saya dan menjadi tourism information nomor satu saya di Ternate.
Kacau nya, di Ternate semua angkot nampak serupa, warna nya dan polos tak ada tulisan jurusan. Pengguna angkot kayaknya diwajibkan orang asli sana yang mengerti arah angkot tersebut. Tapi kalau kamu mau iseng kayak saya sih bisa aja, toh jalanan di Pulau Ternate ini hanya muter-muter saja keliling pulau. Ya, nyasar-nyasar sampe puncak Gunung Gamalama. Tarif angkutan dari pelabuhan dufa-dufa ke terminal (yang juga pusat kota) adalah Rp. 3000 dan dilanjutkan dari terminal ke pelabuhan bastiong dengan harga yang sama. Jadi walaupun angkotnya tetep sama tapi dihitung dua kali perjalanan, yah lumayan lah untuk sebuah ketidaktahuan ongkos Rp.6000 itu termasuk murah, banget. Kata supir angkotnya, selisih biaya angkot dengan ojek adalah seribu rupiah, jadi kalau naik ojek juga cuma tujuh ribu rupiah.
Pelabuhan Bastiong ya macam di Dufa-dufa juga Cuma lebih ramai karena ada pasar. Untuk ke Pulau Tidore bisa ditempuh dengan speedboat, dan hanya ada itu untuk penyeberangan regulernya. Tarif untuk penyebrangannya hanya Rp.8000 dan memakan waktu 15 menit, sangat singkat. Dari pada malu bertanya sesat dijalan saya bertanya ke loket tiket, ternyata dia tidak menjual tiket ke Tidore. Lah saya bingung beli nya dimana! Kemudian ada sekumpulan kuli atau preman pelabuhan yang nimbrung nembak harga “Ayo sama saya, berapa orang? 1orang? 70 ribu aja!” huanjir.. haha dari delapan ribu ditembak tujuh puluh ribu! Dikira saya presiden apa yang naik speedboat sendirian *like a boss*
Akhirnya saya nyelonong masuk pelabuhan dan iseng lirik lirik yang kemudian mendapati beberapa speed boat kecil bersandar. “speed boat ke Tidore pak?” – “Ayo naik!” ajak si kenek. Yeah! Ada kalanya intuisi lebih penting dari pada bertanya, hihi. Sialnya sih, kita harus menunggu penuh alias ngetem. Total penumpangnya maksimalnya mencapai 16 orang saja tapi kadang suka dilebih-lebihin sampai 18 hingga 20, belum lagi kenek dan motoris nya. Aih! Kalau kalian ada disana, dengan keadaan ga bisa berenang, pasti sudah kalap melihat lautnya. Hujan dan luapan air mirip sungai ciliwung di musim hujan. Mesin speed nya saja serasa ditelan laut, terlihat dari volume air yang terus naik ke atas, bahkan lebih tinggi dari mesin kapal sendiri. Ombaknya yang bergerak sesuka hati bikin badan kapal terlempar kesana kesini. Hujan terus turun. Byuuurr.. horor! Mata saya melirik ke arah benda berwarna orange di depan setiran motorisnya. Menghitung-hitung kapan saatnya saya loncak kesana menarik salah satu pelampung dan kemudian loncat keluar kapal. Semua pikiran itu memenuhi kepala saya. Menghitung seberapa cepat kalau kapal terguling dengan seberapa cepat saya mengambil pelampung dan keluar dari benda fiber tersebut.
Praduga tak bersalah saya terhadap laut dan speedboat nampaknya berakhir setelah 15 menit melaut. Waaaah napak lagi di daratan. Pemandangan di depan Pelabuhan Rum, Tidore dalah Pulau Maitara. Rasanya mau kesana yang kalau ditanya mau ngapain saya hanya bisa jawab “iseng”. Bahkan ke Tidore ini pun termasuk “Iseng”. Lah gimana ga iseng, sesampai di pelabuhan saya bingung mau kemana, jauh dari kesan kota yang kanan kiri hutan, blakang gunung, depan laut. Mau kemana?
Lagi lagi dengan menggunakan intuisi (ciah), saya naik aja ke angkot berwarna biru tanpa tulisan tujuan akhirnya. Saya duduk di samping supir, supir kali ini kalem banget dan mengendarai mobil dengan sangat santai, kayak di pantai. Sepanjang jalan saya hanya melihat rumah-rumah berjejer. Kota Tidore ini sangat tenang tanpa aktivitas jedag jedug. Belum sampai sejam saya sudah melewati delapan kelurahan (sesungguhnya ga saya hitung berapa kelurahan yang pasti sih banyak). Banyak penumpang angkot naik turun, abangnya dengan tampang kalem lirik lirik, dia pikir saya orang gila yang numpang sial di angkotnya kali. Mau pergi tanpa arah dan tujuan, yang ga bilang bilang stop sepanjang perjalanan yang ga berujung itu. Sebenarnya saya lagi skimming lokasi menarik di Tidore, melihat pesisir pantainya dan melihat objek wisata sejarah mungkin. Saya pun menanti ujung rute angkot ini dan dengan senang hati akan balik dengan rute yang sama. Tapi mau masuk jam pertama kok belum juga ada ujungnya. Kanan kiri masih perumahan berjejer rapi, jalanan yang bersih dan pemandangan gunung Tidore di belakang sana yang kokoh berdiri dan diselimuti kabut tipis.
Gosip yang saya dengar, jalanan di Tidore ini memutar mengelilingi pulau. Saya jadi was-was dugaan abang angkot nya benar, bahwa saya gila. Gimana ga gila kalau saya akan turun angkot di tempat yang sama dengan pas naik tadi. Namun, dugaan itu salah. Angkotnya masuk ke sebuah terminal yang tidak saya kenali. Oh thanks God! Ini bukan terminal yang sama dengan yang dekat Pelabuhan Rum tadi. Yah, kurang lebih saya sudah mengelilingi ¾ Pulau Tidore hanya dengan tarif 10.000 rupiah.